Gelombang penangkapan mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi ricuh di depan Balai Kota Jakarta pada 21 Mei 2025 lalu, kini mulai mereda. Sebuah secercah harapan muncul bagi 16 mahasiswa Trisakti yang sebelumnya ditahan, dengan dibukanya peluang penyelesaian kasus melalui pendekatan restorative justice (RJ). Keputusan ini, yang diungkapkan oleh Polda Metro Jaya, menawarkan jalan damai dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, sekaligus mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan potensi pemulihan sosial bagi para mahasiswa yang terlibat.
Pendekatan restorative justice sendiri, bukanlah hal yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Namun, penerapannya dalam kasus demonstrasi yang melibatkan mahasiswa, khususnya dengan skala kericuhan yang terjadi, menjadi perhatian tersendiri. RJ menekankan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat yang terdampak akibat tindak pidana. Alih-alih fokus pada hukuman dan retribusi, RJ berupaya mencari solusi yang adil, memulihkan kerugian, dan mencegah terulangnya kembali peristiwa serupa. Dalam konteks demonstrasi, ini berarti melibatkan mahasiswa yang terlibat, pihak-pihak yang dirugikan (misalnya, petugas keamanan, pemilik properti yang rusak, atau masyarakat yang merasa terganggu), serta perwakilan dari kampus dan masyarakat sipil, dalam sebuah proses dialog dan negosiasi yang difasilitasi oleh pihak yang netral.
Kombes Pol Ade Ary Syam, Kabid Humas Polda Metro Jaya, menjelaskan bahwa inti dari restorative justice adalah mengembalikan keadaan kepada kondisi semula. “Inisiasinya harus berasal dari kedua belah pihak,” tegasnya. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa proses RJ tidak bisa dipaksakan. Keinginan untuk berdialog dan mencari solusi bersama harus datang dari kedua belah pihak yang terlibat, baik dari pihak mahasiswa maupun dari pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat demonstrasi. Ini bukan sekadar proses hukum, tetapi juga sebuah proses rekonsiliasi dan pemulihan sosial.
Kasus demonstrasi mahasiswa Trisakti ini, tentu saja, memiliki dimensi yang lebih kompleks. Kericuhan yang terjadi di depan Balai Kota Jakarta, meninggalkan luka dan kerugian bagi banyak pihak. Selain kerusakan fisik pada fasilitas umum dan properti, demonstrasi tersebut juga menimbulkan ketakutan dan keresahan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, penerapan restorative justice dalam kasus ini, tidak bisa hanya berfokus pada pemulihan hubungan antara mahasiswa dan pihak-pihak yang dirugikan secara langsung. RJ juga harus mempertimbangkan dampak sosial yang lebih luas dan berupaya memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan hak-hak kebebasan berekspresi.
Penyelesaian kasus demonstrasi melalui pendekatan RJ juga sejalan dengan semangat reformasi hukum di Indonesia. Setelah bertahun-tahun berfokus pada penegakan hukum yang represif, sistem peradilan Indonesia mulai beralih ke pendekatan yang lebih humanis dan rehabilitatif. RJ dipandang sebagai salah satu instrumen penting untuk mewujudkan tujuan tersebut. Dengan memberikan kesempatan kepada para pelaku untuk mengakui kesalahan, bertanggung jawab atas perbuatan mereka, dan memperbaiki hubungan dengan korban, RJ dapat membantu mencegah residivisme dan membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
Namun, penerapan RJ dalam kasus demonstrasi mahasiswa ini, juga tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa proses RJ dilakukan secara transparan dan akuntabel. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana proses RJ berlangsung, siapa saja yang terlibat, dan bagaimana keputusan akhir diambil. Jika proses RJ tidak dilakukan secara transparan, maka akan timbul kecurigaan dan ketidakpercayaan, yang justru dapat memperburuk situasi.
Selain itu, penting juga untuk memastikan bahwa pihak-pihak yang dirugikan benar-benar merasa puas dengan hasil RJ. Jika pihak-pihak yang dirugikan merasa bahwa keadilan tidak ditegakkan, maka proses RJ akan dianggap gagal. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan pihak-pihak yang dirugikan secara aktif dalam proses RJ dan memberikan mereka kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka.
Tantangan lainnya adalah memastikan bahwa mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi benar-benar memahami konsekuensi dari perbuatan mereka dan bersedia untuk bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Tidak semua mahasiswa mungkin bersedia untuk berpartisipasi dalam proses RJ. Beberapa mahasiswa mungkin merasa bahwa mereka tidak bersalah dan menolak untuk mengakui kesalahan. Yang lain mungkin merasa takut atau terancam jika harus berdialog dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Oleh karena itu, penting untuk memberikan dukungan dan perlindungan kepada mahasiswa yang bersedia berpartisipasi dalam proses RJ.
Dalam konteks kasus mahasiswa Trisakti, peran kampus juga sangat penting. Kampus memiliki tanggung jawab moral dan etika untuk mendampingi para mahasiswanya yang terlibat dalam kasus hukum. Kampus juga dapat berperan sebagai mediator antara mahasiswa dan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Selain itu, kampus juga dapat memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para mahasiswanya tentang pentingnya hak-hak kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial.
Penerapan RJ dalam kasus demonstrasi mahasiswa ini, juga menjadi momentum bagi pemerintah dan aparat keamanan untuk merefleksikan pendekatan mereka terhadap aksi-aksi demonstrasi di masa depan. Selama ini, aparat keamanan cenderung menggunakan pendekatan yang represif untuk membubarkan demonstrasi. Namun, pendekatan represif seringkali justru memicu kekerasan dan kericuhan. Oleh karena itu, pemerintah dan aparat keamanan perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih persuasif dan dialogis untuk mengelola aksi-aksi demonstrasi.
Pendekatan yang lebih persuasif dan dialogis, tidak berarti pemerintah dan aparat keamanan harus membiarkan demonstrasi berlangsung tanpa aturan. Demonstrasi tetap harus dilakukan secara tertib dan damai, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, pemerintah dan aparat keamanan perlu memberikan ruang yang lebih luas bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka secara bebas dan demokratis.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan perbaikan struktural untuk mengatasi akar permasalahan yang melatarbelakangi aksi-aksi demonstrasi. Aksi-aksi demonstrasi seringkali dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, ketidakadilan sosial, atau masalah-masalah ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan perbaikan struktural untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keputusan Polda Metro Jaya untuk membuka peluang RJ bagi mahasiswa Trisakti yang terlibat demo ricuh, patut diapresiasi. Ini menunjukkan adanya itikad baik untuk menyelesaikan kasus ini secara damai dan konstruktif. Namun, keberhasilan pendekatan RJ ini, sangat bergantung pada komitmen dan kerjasama dari semua pihak yang terlibat. Mahasiswa, pihak-pihak yang dirugikan, kampus, pemerintah, dan aparat keamanan, semuanya harus bersedia untuk berdialog, mencari solusi bersama, dan memulihkan hubungan yang rusak.
Proses RJ dalam kasus ini, harus dilakukan secara hati-hati dan seksama. Tidak boleh ada unsur paksaan atau manipulasi. Setiap pihak harus diberikan kesempatan yang sama untuk menyampaikan aspirasi dan pandangan mereka. Keputusan akhir harus diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat, dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat.
Jika proses RJ berhasil, maka kasus demonstrasi mahasiswa Trisakti ini, dapat menjadi contoh positif bagi penyelesaian konflik di masyarakat. RJ dapat menjadi alternatif yang lebih baik daripada pendekatan hukum yang represif, yang seringkali hanya menghasilkan kebencian dan permusuhan. RJ dapat membantu membangun masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan demokratis.
Penting untuk diingat bahwa restorative justice bukanlah ampunan begitu saja. Ini adalah proses yang melibatkan pertanggungjawaban, perbaikan, dan pemulihan. Mahasiswa yang terlibat harus mengakui kesalahan mereka, meminta maaf kepada pihak-pihak yang dirugikan, dan berupaya untuk memperbaiki kerugian yang telah mereka timbulkan. Ini bisa berupa ganti rugi atas kerusakan properti, atau tindakan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.
Selain itu, proses RJ juga harus melibatkan pihak-pihak yang netral dan terpercaya. Ini bisa berupa tokoh masyarakat, tokoh agama, atau perwakilan dari organisasi kemasyarakatan. Kehadiran pihak-pihak yang netral dapat membantu menjamin bahwa proses RJ berjalan secara adil dan transparan.
Penerapan RJ dalam kasus demonstrasi mahasiswa Trisakti ini, juga merupakan ujian bagi sistem peradilan Indonesia. Apakah sistem peradilan Indonesia benar-benar mampu menerapkan pendekatan yang lebih humanis dan rehabilitatif? Apakah sistem peradilan Indonesia mampu memberikan kesempatan kepada para pelaku untuk memperbaiki diri dan kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif?
Semoga kasus demonstrasi mahasiswa Trisakti ini, dapat menjadi momentum bagi perbaikan sistem peradilan Indonesia. Semoga pendekatan RJ dapat menjadi solusi yang lebih baik untuk menyelesaikan konflik di masyarakat. Semoga Indonesia dapat menjadi negara yang lebih adil, harmonis, dan demokratis.
Ke depan, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap penerapan RJ dalam kasus ini. Evaluasi ini harus melibatkan semua pihak yang terlibat, termasuk mahasiswa, pihak-pihak yang dirugikan, kampus, pemerintah, dan aparat keamanan. Hasil evaluasi ini dapat digunakan untuk memperbaiki proses RJ di masa depan dan memastikan bahwa RJ benar-benar efektif dalam menyelesaikan konflik di masyarakat.
Kasus demonstrasi mahasiswa Trisakti ini, mengingatkan kita akan pentingnya dialog dan komunikasi dalam menyelesaikan konflik. Konflik tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan atau paksaan. Konflik hanya bisa diselesaikan dengan dialog, negosiasi, dan kompromi. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan ruang dialog yang aman dan terbuka bagi semua pihak yang terlibat dalam





