Kasus korupsi yang melibatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) semakin meruncing dengan penetapan tiga nama baru sebagai tersangka oleh Jaksa Agung. Zainuddin Mapa, mantan Direktur Utama Bank DKI Jakarta, dan Dicky Syahbandinata, mantan pimpinan Divisi Korporasi dan Komersial Bank Jawa Barat Banten (BJB), kini ikut terseret dalam jeratan hukum. Selain mereka, Iwan Setiawan Lukminto, Komisaris Utama sekaligus mantan Direktur Utama PT Sritex, juga menyusul menyandang status tersangka. Penetapan ini menandai babak baru dalam investigasi yang telah berlangsung, dan semakin memperluas jangkauan dampak korupsi yang diduga terjadi.
Kejaksaan Agung mengumumkan penetapan tersangka ketiga nama tersebut pada Rabu, 21 Mei 2025, dengan dasar ditemukannya alat bukti yang cukup kuat. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa Zainuddin dan Dicky diduga terlibat dalam pemberian kredit kepada PT Sritex secara tidak sah. Tindakan mereka, menurut Qohar, tidak didasari oleh analisis yang memadai dan mengabaikan prosedur serta persyaratan yang seharusnya dipenuhi dalam proses pemberian kredit. Ini mengindikasikan adanya potensi pelanggaran serius dalam tata kelola keuangan dan pengambilan keputusan di kedua bank tersebut.
Salah satu poin krusial dalam dugaan korupsi ini adalah fakta bahwa PT Sritex tidak memenuhi syarat untuk menerima kredit modal kerja. Penilaian yang dilakukan menunjukkan bahwa Sritex memperoleh predikat BB-, yang mengindikasikan risiko gagal bayar yang signifikan. Qohar menegaskan bahwa seharusnya, pemberian kredit tanpa jaminan hanya diperbolehkan kepada perusahaan atau debitur yang memiliki peringkat A. Ketidaksesuaian ini menjadi bukti kuat adanya pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, yang seharusnya menjadi landasan utama bagi bank dalam mengelola risiko.
Lebih lanjut, Qohar menyoroti bahwa pemberian kredit tersebut juga melanggar standar prosedur operasional bank (SOP), Undang-Undang Perbankan, dan prinsip kehati-hatian yang berlaku. Pelanggaran-pelanggaran ini menunjukkan adanya kegagalan sistem pengawasan internal di Bank DKI dan Bank BJB, yang memungkinkan praktik-praktik yang berpotensi merugikan negara untuk terjadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas mekanisme pengendalian risiko dan tata kelola perusahaan di kedua lembaga keuangan tersebut.
Sementara itu, peran Iwan Setiawan Lukminto sebagai Dirut Sritex juga menjadi sorotan. Iwan diduga tidak menggunakan dana kredit yang diterima dari Bank BJB dan Bank DKI sesuai dengan tujuan awal, yaitu untuk modal kerja. Sebaliknya, dana tersebut disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif. Tindakan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap perjanjian kredit dan merugikan kedua bank yang telah memberikan kepercayaan.
Akibat penyalahgunaan dana tersebut, kredit dari Bank BJB dan Bank DKI menjadi macet. Upaya untuk mengeksekusi aset Sritex sebagai jaminan juga gagal, karena nilai aset tersebut lebih kecil dari nilai pinjaman. Selain itu, aset-aset milik Sritex juga tidak dijadikan jaminan dalam proses pemberian kredit, sehingga meningkatkan risiko kerugian bagi kedua bank. Kondisi ini semakin memperburuk situasi keuangan Sritex, yang akhirnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang. Kepailitan Sritex menjadi titik balik yang semakin memperjelas dampak negatif dari korupsi yang telah terjadi.
Kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp 692.980.592.188. Jumlah yang fantastis ini menunjukkan skala korupsi yang sangat besar dan dampaknya yang signifikan terhadap keuangan negara. Qohar menegaskan bahwa akibat pemberian kredit secara melawan hukum tersebut, negara mengalami kerugian yang besar. Ini menjadi bukti nyata bahwa korupsi bukan hanya merugikan lembaga keuangan yang terlibat, tetapi juga berdampak buruk pada perekonomian secara keseluruhan.
Akibat perbuatannya, Iwan, Dicky, dan Zainuddin dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal ini mengatur tentang penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, serta perbuatan curang yang merugikan negara. Dakwaan ini menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung menganggap kasus ini sebagai tindak pidana korupsi yang serius dan akan menuntut hukuman yang setimpal bagi para pelaku.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, ketiganya langsung ditahan untuk 20 hari ke depan. Penahanan ini bertujuan untuk memfasilitasi proses penyidikan lebih lanjut dan mencegah para tersangka melarikan diri atau menghilangkan bukti. Langkah ini menunjukkan keseriusan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus korupsi ini dan membawa para pelaku ke pengadilan.
Kasus Sritex ini menjadi sorotan publik karena melibatkan sejumlah nama besar di industri perbankan dan tekstil. Dampak dari kasus ini tidak hanya terbatas pada kerugian negara, tetapi juga dapat merusak reputasi Bank DKI dan Bank BJB. Selain itu, kasus ini juga dapat mempengaruhi kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia.
Penting untuk dicatat bahwa kasus ini masih dalam tahap penyidikan. Kejaksaan Agung akan terus mengumpulkan bukti dan melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi untuk memperkuat kasus tersebut. Proses hukum ini akan berjalan transparan dan akuntabel, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Beberapa pengamat hukum menilai bahwa penetapan tersangka Zainuddin, Dicky, dan Iwan merupakan langkah yang tepat dan diperlukan untuk mengungkap kebenaran atas kasus korupsi Sritex. Mereka juga berharap agar proses hukum dapat berjalan cepat dan adil, sehingga para pelaku dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya.
Kasus Sritex ini juga menjadi pelajaran berharga bagi lembaga-lembaga perbankan di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut perlu meningkatkan sistem pengawasan internal dan tata kelola perusahaan mereka untuk mencegah terjadinya praktik-praktik korupsi di masa mendatang. Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan terhadap lembaga-lembaga perbankan untuk memastikan bahwa mereka beroperasi secara transparan dan akuntabel.
Pemberantasan korupsi merupakan tugas yang berat, tetapi sangat penting untuk dilakukan demi menciptakan negara yang bersih dan berkeadilan. Kasus Sritex ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa korupsi dapat merugikan negara dan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, semua pihak harus bersatu padu untuk memberantas korupsi, mulai dari tingkat pusat hingga tingkat daerah.
Ke depan, kasus Sritex diharapkan dapat menjadi contoh bagi lembaga-lembaga penegak hukum lainnya dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik dan pengusaha. Dengan menindak tegas para pelaku korupsi, kita dapat memberikan pesan yang jelas bahwa korupsi tidak akan ditoleransi di Indonesia. Selain itu, kasus ini juga dapat menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan dan meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara.
Proses hukum yang berjalan transparan dan akuntabel akan memberikan keyakinan kepada publik bahwa hukum ditegakkan secara adil dan tidak memihak. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegak hukum dan memperkuat komitmen untuk memberantas korupsi. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi negara yang lebih baik dan lebih sejahtera bagi seluruh rakyatnya.
Kasus korupsi Sritex ini merupakan bagian dari tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam upaya memberantas korupsi. Namun, dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, kita dapat mengatasi tantangan ini dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Mari kita terus mendukung upaya pemberantasan korupsi dan membangun Indonesia yang bersih, berkeadilan, dan berintegritas.
Penting untuk diingat bahwa setiap individu memiliki peran penting dalam memberantas korupsi. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, integritas, dan akuntabilitas, kita dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi. Mari kita bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik dan lebih makmur.
Kasus Sritex ini juga menyoroti pentingnya peran media dalam mengawasi kinerja pemerintah dan lembaga-lembaga publik lainnya. Media memiliki tanggung jawab untuk mengungkap praktik-praktik korupsi dan memberikan informasi yang akurat kepada publik. Dengan demikian, media dapat menjadi mitra strategis dalam upaya pemberantasan korupsi.
Selain itu, kasus ini juga menunjukkan pentingnya peran masyarakat sipil dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan menuntut pertanggungjawaban para pejabat publik. Masyarakat sipil dapat melakukan berbagai kegiatan, seperti melakukan investigasi independen, memberikan masukan kepada pemerintah, dan mengorganisir aksi demonstrasi untuk menuntut keadilan.
Dengan demikian, pemberantasan korupsi bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Mari kita bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik dan lebih berkeadilan.
Terakhir, kasus Sritex ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa korupsi dapat merusak sendi-sendi perekonomian dan menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu, kita harus terus berjuang untuk memberantas korupsi dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan demikian, Indonesia dapat mencapai potensi penuhnya dan menjadi negara yang maju dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.
Kasus ini akan terus menjadi perhatian publik dan media, dan perkembangan selanjutnya akan terus dipantau oleh Sarjana Berita.





